Qowa'idud Da'wah Ilallah

Administrator Wed 12 Nov, 2014


Rp55.000,00


Tambahkan ke Troli
Berdakwah itu menabur cinta, karena ketika berdakwah, seorang dai mengupayakan keselamatan umat manusia dari api neraka. Dai menawarkan surga sebagai hadiah kepada orang-orang di sekelilingnya dan menunjukkan mereka jalan menuju bahagia. Semua ini dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan. Bahkan memang tidak boleh ada imbalan. “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Hûd: 29). (Qowâ’idud Da’wah Ilallâh, h. 149) Itulah cinta sejati. Tidak ada cinta yang lebih murni dari kecintaan seorang dai terhadap mad’unya seperti ini. Tidak ada ketulusan yang lebih tinggi dari ketulusan seorang dai terhadap dakwahnya seperti ini. Tidak ada. Bahkan berdakwah merupakan manifestasi tertinggi dari ibadah, yang wujudnya, sebagaimana disampaikan oleh Ar-Razi adalah mengagungkan perintah Allah dan berbelas kasih terhadap makhluk-Nya. (Qowâ’idud Da’wah Ilallâh, h. 3 ) Karena semua demi cinta maka segala aktivitas dakwah menjadi terasa ringan. Dan karena semua berlandaskan cinta maka kerja-kerja dakwah membahagiakan. Sesibuk apa pun seorang dai dengan dakwahnya, ia akan tetap bekerja dengan senang dan gembira. Kerja dakwah tidak sebagaimana yang disangka oleh banyak orang; yang penuh dengan kesulitan, kepayahan, kerugian, dan rasa sakit. Dakwah adalah sesuatu yang enak dirasakan dan nyaman di hati. Untuk itu, para dai rela mengorbankan sesuatu yang berharga dari miliknya di jalan dakwah. Mereka rela menahan ujian dan godaan demi dakwah. Mereka menjadi orang yang paling bahagia dengan dakwah di jalan-Nya. (Qowa’idud Da’wah Ilallah, h. 8). Saat kerja dibalut cinta, segalanya terasa indah dan penuh semangat. Dan agar cinta itu dapat tersampaikan kepada sebanyak-banyak orang, maka dibutuhkan kerja-kerja dakwah yang harmoni. Untuk itu, dibutuhkan kaidah-kaidah yang mengaturnya. Ada aturan mainnya. Jadi, dakwah tidak bisa berjalan serampangan. Seorang dai yang bijak tidak asal mengatakan semua yang diketahuinya kepada semua orang yang dikenalnya. Seorang dai yang bijak harus mempertimbangkan kadar kemampuan pikiran mad’u dan tidak boleh membebaninya di luar batas kemampuan mereka. Titik kesimpulannya, dakwah membutuhkan kaidah-kaidah yang mengaturnya, agar menjadi dakwah muntijah; dakwah yang kebaikannya bisa dirasakan oleh sebanyak mungkin orang sebagai wujud Islam yang rahmatan lil alamin. Buku Qowâ'idud Da'wah Ilallâh ini berisi kaidah-kaidah dasar dalam berdakwah yang harus diperhatikan oleh dai dan aktivis dakwah. Ditulis oleh Al-Ustadz Hammam Abdurrahim Sa’id secara lugas dan memikat untuk para aktivis dakwah, agar kerja-kerja dakwah semakin terarah.