Bagaimana Menyentuh Hati

Administrator Wed 12 Nov, 2014


Tulisan ringan namun amat sarat makna dari Abbas Asisi ini menekankan ‘hati’ sebagai instrumen penting dalam proses dakwah. Seorang penyeru dakwah mest

Rp33.500,00


Tambahkan ke Troli
Tulisan ringan namun amat sarat makna dari Abbas Asisi ini menekankan ‘hati’ sebagai instrumen penting dalam proses dakwah. Seorang penyeru dakwah mestilah seorang dengan niat ikhlas, kebersihan dan kesucian hati, serta lepas dari segala maksud selain lillahi ta’alaa. Begitu pula dengan objek dakwah, hati merupakan sarana ampuh untuk mengikat seseorang dengan keindahan Islam. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadits arba’in, dikatakan bahwa hati adalah segumpal daging yang akan menjadikan tubuh seseorang baik atau rusak sebagian maupun seluruhnya. Mengingat betapa pentingnya hati, Abbas Asisi memberikan tips-tips bagi da’i bagaimana menyentuh hati para objek dakwah. Pada awal buku, dengan bijak penulis mengawalinya dengan pengingatan akan karakteristik dakwah yang bertahap dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hal ini ditujukan agar para du’at tidak tergesa-gesa dalam mengaharapkan hasil. Dakwah, menurut Hasan Al Banna, ibarat tugas para pekerja gardu listrik yang mana mengalirkan listrik dari satu sumber ke seluruh rumah yang ada dalam suatu wilayah. Para du’at adalah sekelompok orang yang menghubungkan cahaya Al Qur’an ke dalam hati-hati manusia. Hati diyakini sebagai bahasa universal yang berlaku di seluruh dunia. Dengannya manusia dapat berinteraksi walau tidak dapat saling memahami bahasa verbal. Untuk memulai interaksi da’i dengan objek dakwahnya, memahami objek dakwah sangat penting guna menentukan metode dan waktu yang tepat. Dalam bukunya, Abbas Asisi mengklasifikasikan manusia menjadi 3 kelompok, yakni: kelompok manusia pemilik akhlak Islami, pemilik akhlak asasiyah, dan pemilik akhlak jahiliyah. Pengklasifikasian ini menjadi dasar bagi da’i menentukan sasaran dakwah. Manusia pemilik akhlak islami menjadi prioritas awal, kemudian dilanjut dengan manusia pemilik akhlak asasiyah dan terakhir, barulah manusia pemilik akhlak jahiliyah. Hal ini dianalogikan seperti kita memetik buah apel. Apel yang masak di bawah akan menjadi prioritas untuk dipetik terlebih dahulu. Dengan kata lain, kelompok manusia yang terdekat dan lebih mudah disentuh hatinya adalah sasaran dakwah yang perlu didahulukan untuk dibina. Mengawali interaksi dengan sasaran dakwah, seorang da’i harus memiliki kemampuan memulai komunikasi. Dalam kisah-kisahnya, Abbas Assisi menceritakan bagaimana pengalamannya dan beberapa al akh lainnya senantiasa berusaha menyapa orang yang berada satu kendaraan atau perjalanan yang sama, walau tidak saling mengenal. Di samping itu, mengingat nama orang yang kita ajak berkenal akan menjadi kesan mendalam baginya. Bagi masyarakat umum, keindahan Islam belum dapat mereka lihat melalui Al Qur’an, Hadits, ataupun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Keindahan Islam justru akan dapat mereka lihat melalui keindahan akhlak para pelaku dakwah. Sebagaimana kisah Rasulullah dan Addas saat hijrah ke Thaif. Ucapan ‘bismillah’ dan kesantunan Rasul mampu memikat hati seorang hamba sahaya, Addas, terhadap Islam. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Rasul menuntun kita mengetahui metode berdakwah, yaitu melalui pemenuhan hak seorang muslim atas muslim lainnya, di antaranya : mengucapkan salam apabila bertemu, menanyakan saat ia tidak hadir, menjenguk di kala sakit, memenuhi undangannya, mendoakan saat ia bersin dan memuji Allah, dan menghadiri jenazahnya saat ia wafat. Abbas Assisi tidak hanya menekankan pada akhlak penyeru dakwah, tetapi juga penampilannya. Abbas Assisi mengungkapkan bahwa kebersihan dan kerapihan pakaian seorang da’i adalah ungkapan jiwanya bagi semua orang yang melihat dan objek dakwahnya. Penampilan yang dimaksud bukanlah sebatas penampilan fisik saja, tetapi juga ruhiyah yang baik. Banyak para pemuda yang melalui taufik Allah mampu merangkul banyak hati manusia, padahal ia tidak pandai bicara. Akan tetapi, melalui pancaran ruhiyah menjadikan hati manusia cenderung kepadanya. Pandangan mata seorang da’i juga dikatakan menjadi sarana penting dalam memimbulkan atsar di dalam hati. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa yang memandang saudaranya, Allah memberi ampunan kepadanya”. Salah satu hal yang mengikatkan hati seseorang dengan saudaranya adalah kasih sayang. Umar bin Khattab ra. memberikan nasihat mengenai tiga hal yang dapat menunjukkan kasih sayang seseorang terhadap saudaranya, di antaranya : mendahulukan mengucap salam, memanggilnya dengan nama yang disenangi, dan memberikan keluasan duduk padanya dalam majelis. Dalam berdakwah, Rasulullah senantiasa mengenyampingkan kepentingan dan urusan pribadinya, bahkan apabila sekalipun hal tersebut melukai dirinya. Rasulullah telah mengajarkan kepada ummatnya bagaimana seorang da’i seharusnya mampu menyambung tali persaudaraan dengan orang yang memutus persaudaraan, memberi makan orang yang mengharamkan makanan untuknya, dan memaafkan orang yang berbuat zalim atas dirinya. Kejahatan tidak dibalas dengan kejahatan, namun dibalas dengan kasih sayang, jabat tangan, dan untaian doa. Sikap demikian itu telah terbukti mampu membuka banyak hati untuk mendekat kepada Islam. Tidak kalah penting, seorang da’i haruslah memikirkan regenerasi untuk meneruskan estafeta dakwah. Anak dalam hal ini adalah aset berharga dalam keberlangsungan dakwah di masa depan. Oleh karena itu, membekali mereka dengan ‘gizi’ yang baik akan menjadi investasi bagi perbaikan ummat mendatang. Pada masa sebelum dewasa ini pula seseorang akan lebih mudah menerima kebenaran sehingga kepribadian shalih mudah dibentuk. Berdasarkan alasan tersebut, Abbas Assisi menyatakan bahwa kita wajib untuk segera mendatanginya dan meraih hati anak tersebut. Pada akhir buku ini, Abbas Assisi menutup secara cerdas dengan mengingatkan para du’at bahwa tidak ada paksaan untuk masuk dalam Islam. Tugas kita hanyalah menyeru, mengajak, dan memberi peringatan. Hasil akhir dari proses dakwah yang dilakukan dikembalikan kepada kuasa Allah dalam membolak-balikkan hati mereka. Menyentuh hati berarti menyentuh manusia secara keseluruhan sebab hati adalah panglima dalam beramal. Hatilah yang menentukan bernilai atau tidaknya suatu amal dan hati pulalah yang menjadikan manusia cenderung kepada kebenaran.